TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) Ali Ghufron Mukti mengatakan dosen di Tanah Air lebih suka mengajar daripada meneliti.
”Jumlah pendapatan dosen mengajar di banyak universitas berbanding lurus dengan banyaknya jam mengajar. Jadi ini salah satu pemicu mengapa dosen kita lebih gemar mengajar dibanding meneliti,” ujar Ghufron di Jakarta, Kamis, 29 Desember 2016.
Di masa mendatang, pihaknya akan melakukan kajian tentang beban kerja para dosen agar memiliki banyak waktu untuk melakukan penelitian. Saat ini, dosen mempunyai kewajiban jam mengajar sebanyak 20 jam dalam sepekan.
Sementara itu, profesor ilmu politik dan sosiologi dari University of Melbourne Australia, Vedi R. Hadiz, mengatakan apa yang dilakukan dosen di Australia tidak bisa dibandingkan dengan dosen yang di Tanah Air.
”Jangan bandingkan hasil penelitian dosen di Melbourne, yang hanya mempunyai kewajiban mengajar lima jam seminggu, dengan di Indonesia, yang mengajar 20 jam seminggu,” kata Vedi.
Vedi mengusulkan kepada Kemristekdikti agar segera melakukan pembenahan, terutama pada tata aturan dalam pemberian tugas kepada dosen.
”Selain penempatan dosen yang tidak sesuai dengan bidangnya, jam mengajar dosen di Indonesia terlalu ‘gemuk’ atau banyak, sehingga mereka tidak punya waktu untuk melakukan penelitian,” ucap Vedi.
Profesor dari Lanchaster University, Ahmad Daryanto, menegaskan Kemristekdikti perlu memperhatikan beban kerja dosen untuk diperhatikan kembali.
”Beban kerja dosen harus diperhatikan dengan saksama. Banyak dosen yang mengeluhkan beban mengajar mereka begitu besar, sehingga sulit memiliki waktu untuk meneliti,” tuturnya.
Lebih lanjut, terkait dengan jabatan akademik profesor, Daryanto pun menyarankan agar diciptakan kategori profesor yang berbasis mengajar dengan profesor yang berbasis meneliti.
sumber:kopertis12.go.id
loading...